Roro Mendut, Kisah Kasih Tak Sampai


Shakespeare punya karya masyhur Romeo-Juliet. Di bumi Timur Tengah juga ada kisah Layla-Majnun. Nah, Pati juga punya cerita rakyat –dan ini kisah nyata, yaitu Roro Mendut dan Panacitra. Saking melegendanya, penulis kawakan Putu Wijaya pernah mengangkat parodinya dalam sebuah cerpen yang berjudul Mendut (Kumpulan Cerpen Gres, Balai Pustaka, maaf, lupa tahun terbitnya, gak bawa bukunya).
Putu memang penulis idola saya. Namun sebenarnya saya menantikan buah tangan dari penulis besar Pramoedya Ananta Toer menuturkan kisah ini. Sayang, entah memang Pram tak pernah menulisnya, atau hingga kini karyanya banyak yang hilang, hingga sekarang dia tiada, saya tak menemukan karyanya tentang Mendut –mungkin juga koleksi buku Pram yang masih minim saya baca. Bisa kita bayangkan, gaya bahasanya yang menggugah sentimental, kisah rakyat jelata ini akan hidup di tangan Pram. Sayang, hal itu nampaknya tak pernah terjadi. Padahal dari tangannya kita menikmati Calon Arang, Arok-Dedes, dan Arus Balik, dan karya besar lainnya.
Bisa dibilang, kisah Mendut ini adalah kelanjutan dari apa yang diceritakan dalam Arus Balik Pram. Arus Balik hanya terhenti pada kemunduran Demak. Arus Balik belum menceritakan kelanjutan Pajang yang makin mundur ke pedalaman Mataram. Nah, ceritera Mendut ini bersetting masa Mataram di bawah Sultan Agung. Mendut di sini tiada kaitannya sama sekali dengan Candi Mendut yang menjadi bagian dari trilogi Candi Budha di Magelang (Mendut-Pawon-Borobudur).
Mendut adalah nama perempuan elok molek yang terlahir dari Desa Trembagi, Pati. Saya hingga kini belum menemukan tahun berapa, sebagai tarikh yang tepat dalam menjelaskan peristiwa ini. Tentu diperlukan studi historis yang lebih mendalam. Namun hal itu, dalam konteks ini, bisa agak dikesampingkan. Kita lakukan saja pendekatan ‘dongeng’ daripada pendekatan ‘sejarah’. Meskipun ini kisah nyata, rakyat lebih mengakrabinya sebagai hikayat atau dongeng. Namun, sebagai patokan, jika memang hingga kini diyakini Mendut hidup pada masa kekuasaan Sultan Agung, tentu konteksnya adalah dekade awal tahun 1600-an.
Mendut sejak kecil diasuh oleh Adipati Pati. Kadipaten Pati (dulu namanya Pesantenan, karena penghasil santan yang kesohor, dan dikenal juga dengan penghasil dawet –minuman khas Jawa yang menggunakan santan dan cendol) adalah sebuah kadipaten kecil yang masih belum bisa ditaklukkan oleh Mataram. Pram menyebutkan bahwa Pesantenan memang sempat jatuh di tangan Demak pada masa ekspedisi Trenggono (raja ketiga setelah Raden Patah dan Pati Unus alias Pangeran Sabrang Lor. Trenggono sendiri naik takhta setelah menyingkirkan Pangeran Sekar Sedo ing Lepen, yang dibunuh oleh anak Trenggono, Sunan Prawoto. Trenggono akhirnya tewas diracun oleh pemuda berusia sepuluh tahun yang menyamar sebagai pelayan minuman. Trenggono terbunuh dalam usaha penaklukan kerajaan di Jawa Timur). Trenggono memang getol mencaplok kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Pantura atau pesisir.
Selepas keruntuhan Demak dan ditariknya kekuasaan ke pedalaman Pajang oleh Jaka Tingkir, mungkin saja nasib Pati kembali lepas dari kekuasaan kerajaan manapun. Saya bukan ahli sejarah, bisa dicek kepastiannya. Setelah itu, Pajang makin masuk ke pedalaman selatan dan menjadi Mataram.
Sultan Agung ketika menjabat raja Mataram, juga hendak menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang masih berserak di pulau Jawa. Dari sudut pandang yang antikeraton, tindakan ini bisa dibilang hendak menguasai dan mempertahankan kekuasaan yang masih tersisa, mengingat penjajah Belanda makin meruyak di tanah Jawa. Dari sudut pandang prokeraton, tindakan ini diartikan sebagai usaha mempersatukan tanah Jawa demi mengusir penjajah Belanda. Kita tinggalkan saja debat ini. Saya sendiri tak tertarik dengan hal yang berbau keraton apalagi golongan ningrat. Yang jelas faktanya, Mataram hendak mencaplok Pati –sebagai salah satu kerajaan kecil di pesisir utara.
Politik yang dijalankan oleh Sultan Agung, jika usaha bersenjata tak bisa berjalan mulus, maka dijalankanlah usaha persaudaraan dengan perkawinan. Hal ini yang dia lakukan dengan mengawini putri dari Surabaya. Nah, usaha persahabatan inilah yang hendak dia lakukan. Diutuslah Tumenggung Wiraguna untuk menaklukkan Pati.
Setibanya rombongan Mataram di Pati dan bertemu dengan Adipati, Pati sepakat mengakui kekuasaan Mataram. Sebagai tanda taklukan, Adipati menyerahkan gadisnya kepada Tumenggung Wiraguna. Dipilihlah gadis asuhnya, Mendut. Diboyonglah Mendut ke Tlatah Mataram.
Padahal, Mendut sendiri sudah merajut cinta dengan seorang pemuda bernama Panacitra. Tak rela gadisnya beranjak ke negeri lain, Panacitra pun mengikuti jejaknya ke Mataram. Setibanya di Mataram, Panacitra menyamar jadi pekatik (pegawai yang merawat kuda prajurit dan raja). Lewat jalur itulah Panacitra dan Mendut bisa bertemu melepas rindu.
Mendut sendiri tak sudi bakal disunting oleh si tua Wiraguna. Dibiarkanlah beberapa waktu, agar Si Mendut tumbuh lebih dewasa. Mendut tak sudi hidup di lingkungan keraton. Dia pun diperbolehkan keluar dari lingkungan istana, asalkan, dia bisa mencari nafkah dengan tenaga sendiri.
Nah, Si Mendut pun menyanggupi tantangan ini, dengan menghidupi diri sendiri dengan berjualan rokok. Setiap pria, baik muda maupun tua, sangat tersihir oleh pesona kecantikan Mendut. Rokoknya laris manis. Apalagi, rokok bekas sedotan bibir Si Mendut. Akan terasa lebih manis dan sedap.
Akhirnya hubungan Mendut-Panacitra terendus juga oleh Wiraguna. Tak terima hadiah yang diberikan oleh Kadipaten Pati ini direnggut oleh seorang pemuda desa rendahan, seorang tumenggung pun bisa bermata gelap. Ditantanglah Panacitra duel maut oleh Wiraguna. Karena Panacitra hanyalah pemuda yang minim pengalaman tarungnya, dan Wiraguna adalah tumenggung yang sarat pengalaman, bisa ditebak hasil pertandingan yang tak seimbang ini.
Panacitra tewas dengan dada tertembus keris. Mendut pun meratap dan keluarlah sumpah dari mulutnya, bahwa Wiraguna, walau bagaimanapun, tak akan bisa memilikinya. Dicabutlah keris yang menancap dari tubuh kekasihnya, dan diakhirilah hidupnya sendiri dengan menghunus keris ke dadanya sendiri.
Mendut, seorang perempuan yang menggugat kemapanan kekuasaan patriarkis. Dia pun melawan dan membuktikan, perempuan tak akan sudi hanya sekedar menjadi hadiah tanda penaklukan suatu daerah atas daerah yang lain. Sayang, Mendut terlewat dari perhatian Pram, mengingat Pram sendiri berasal dari Blora, kota yang bersebelahan persis dengan Pati. Mendut, bukannya muluk, bisa kita sejajarkan dengan Kartini, Nyai Ontosoroh, Midah, Larasati, atau perempuan-perempuan kuat lainnya yang ditulis oleh Pram.
Kini, makamnya masih ramai dikujungi oleh peziarah. Terutama para pedagang rokok. Mereka percaya, agar dagangannya laku keras, mereka setidaknya menziarahi makam perempuan yang satu ini.

Posting Komentar

0 Komentar